Jumat, 02 November 2012

NAFASKU BERAHIR DI PELUKAN MAMA


NAFASKU BERAHIR DIPELUKAN MAMA
Inilah aku, hidup dengan segala yang serba pas-pasan. Tapi, aku tak pernah sediktpun merasa tak bahagia, karena aku tumbuh dewasa dengan bergelimang cinta, kasih sayang, harapan, dan mimpi yang begitu banyak. Papa, mama, aku, dan seorang adik perempuanku hidup dengan saling melengkapi satu sama lain.
Mama, ia adalah orang paling cantik di dunia, paling baik, dan punya sejuta talenta. Aku mengidolakan mama, wanita setengah baya ini sangat pandai bernyanyi dan menulis puisi. Mama biasanaya selalu menyanyikan sebuah lagu untukku sebelum tidur. Sedangkan papa juga orang yang tak kalah hebatnya dari mama, ia sangat dewasa, baik, tegas, dan bisa masak juga lhoo!.
“Cinta”, begitulah mereka memberiku sepatah nama kecil yang manis dan indah didegar. Mereka berharap dengan nama itu aku hidup penuh cinta dan kasih dari orang-orang disekitarku.
            “Terima kasih, Tuhan! Meski hidupku tak sempurna, tak satupun kata terucap dari bibirku bahwa aku menyesal hidup dengan keadaan seperti ini. Aku bahagia, akan takdirmu Ya.. Allah..!”. Itulah kata yang selalu terucap setiap senyuman manis dari wajah-wajah indah terpancar menyentuh kalbu, setiap senyum ikhlas pncarkan kebahagiaan, serta tangisan bahagia dari setiap doa mereka.
            “Oh Tuhaann… Indahnya hidupku!!!”.

***

            “Ma..Pa.. Cinta berangkat sekolah ya !!”. Kataku sambil menghampiri mama dan papa, tak lupa ku  cium pipi mungil adikku tersayang.
            “Iya.. hati-hati sayang, belajarlah yang sungguh-sungguh..!”, Sahut mama sambil tersenyum manis, ya inilah mamaku  terlihat cantik ketika tersenyum.
            “Oke !” Jawabku nakal.
            Aku berangkat dengan bahagia, sesekali aku menengok sambil melambaikan tangan. Adikku, Dinda juga ikut melambaikan tangan mungilnya sambil tersenyum dan memperlihatkan dua gigi kecil yang putih mirip kelinci itu. Akupun melangkah kecil, sambil menanti kendaraan umum yang melintas dan membawaku ke sekolah.

***

            Turun dari kendaraan umum aku berhenti sejenak. Memandang sebuah bangunan megah bercat hijau. Yah… inilah sekolahku, SMP 09 Yogyakarta. Sekolah elite yang terkenal di daerahku. Kulangkahkan kembali kakiku. Berjalan menuju kelas lantai 2 paling pojok, yaa.. kelas apa lagi kalau bukan kelas 8 G. sampai di kelas semua menatapku dengan tatapan yang aneh, tapi aku cuek saja. Maklum, memang di kelas aku sedikit tersisihkan, mungkin karena hidupku yang pas-pasan atau mungkin karena mereka menganggap aku tek selevel dengan mereka. Aku duduk dibangku paling belakang, pojk kanan. Ku letakkan tas, lalu aku keluar karena kelas akan dibersihkan.
Pelajaran dimulai pukul 07.00 tepat. Kalau hari sabtu seperti ini kami selalu memnulai pelajaran dengan sangat tertib. Karena guru yang paling ditakuti akan memberikan materi pada jam pertama pelajaran. Siapa lagi, kalau bukan Pak Anto, guru yang menurut kami paling menyeramkan di dunia. Setiap Pak Anton memberi materi, kami semua tak berkutik sedikitpun.
            “Dari pada disuruh sit up ?”. Pikir kami.

***

            Bel pulang berbunyi, sorakkan gembira terlontar begitu saja dari seluruh siswa dan siswi sekolah itu. Namun, aku tetap saja tak beranjak dari bangkuku, dengan wajah penuh penyesalan. Gadis seumurku dengan rambut panjang duduk di depanku, menatapku dengan tatapan kosong.
            “Sedang apa, Cin?”. Eka bertanya padaku.
            “Hari ini mama ulang tahun. Tapi kamu tahu kan bagaimana keadaanku? Aku tak mungkin membeli hadiah istimewa untuk mama.!” Jawabku sambil tertunduk lesu.
            “Ya ellahh… Cinta..Cinta, aku kira ada masalah apa, ternyata Cuma itu???”. Eka meledekku.
            “Cuma??? Mama itu sangat penting buat aku !”. Kataku sedikit tersinggung.
            “Cin, hadiah yang indah itu bukan karena harga, atau istimewa. Tapi karena tujuan dan ketulusannya!”. Ia menjelaskan.
            Aku langsung pergi meninggakan Eka dan berlari ke taman sekolah, kupetik satu bunga merah yang menurtku paling indah. Selesai itu, aku pulang dengan tergesa-gesa.

***

            “Mama !...Mama!” Aku berlari ke kamar mama. Tapi, aku tak menemukan mama dimanapun. Akupun menunggu mama diluar karena, fikirku mama sedang keluar. Lalu tetanggaku menghampiri,
            “Sedang apa kamu di luar?”. Ia bertanya.
            “Menunggu mama pulang, Bu!”. Kataku.
            “Apa kamu tidak tahu kalau papamu, sakit dan dibawa ke rumah sakit? Mungkin ibumu ada di sana !”. Ia memberi tahu.
            “Saya baru tahu Bu… baiklah terima kasih Bu… !!”. Aku mengangguk. Dan aku langsung pergi ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumahku.

***

            “Maaf Mbak, apa ada pasien dengan nama P. Adie?”. Aku bertanya pada suster.
            “Ooo… Pasien yang baru masuk tadi siang? Ya ada dik, di ruang UGD lantai tiga!”. Jawabya dengan ramah.
            “Terima kasih !”. Kataku sambil berlari.
            Aku berlari terus tanpa memperdulikan bunyi perut yang belum diisi dari siang tadi. Rasa  khawatir ini jauh lebih menyiksa dari pada rasa laparku. Kulihat setiap ruangan, tapi hasilnya nihil. Hanya satu ruangan lagi yang belum kuperiksa. Kubuka pintu dengan nafas terengah-engah.
            Disana kulahat seorang laki-laki dewasa terbaring tak sadarkan diri, bersama seorang wanita catik yang menggendong gadis kecil yang cantik. Mereka tampak sedih, dan terpukul. Aku menghampiri mereka dan bertanya,
            “Ma… Apa yang terjadi pada papa?”. Tanyaku sambil menangis.
            “Papa, terkena stroke, Cinta !”. Mama menangis lagi.
Ku usap air mata mama,
            “Mama, jangan menangis… Papa adalah orang yang kuat, aku percaya papa bisa melalui ini! Sekarang papa sedang sakit, cuma Mama yang bisa jadi penguat untuk papa, Cinta, dan Dinda saat ini! Jika mama seperti ini kami juga akan rapuh, Ma …”. Kataku.
            Mama menidurkan Dinda di kursi panjang warna hitam, lalu memeluk tubuhku dengan erat,
aku berbisik lirih di telinganya,
            “Happy birthday, Mama !”. Tangisan mama semakin menjadi-jadi. Entah karena terharu atau karena sedih.
            “Cinta, terima kasih !”. Mama menangis sambil tersenyum.
            “Mama, maaf inta tak punya hadiah yang indah untuk Mama… hanya bunga ini dan satu lagu buat Mama !” Aku mengusap lagi air mata mama, lalu ku pasang bunga itu di telinga mama. Dan aku bernyanyi kecil untuknya,
            “Apa yang kuberikan untuk mama..
            Untuk mama tersayang.. tak ku miliki sesuatu berharga ..
            Untuk mama tercinta, ohh hanya ini ku nyanyikan…
            Senandung dari hatiku untuk mama..
            Hanya sebuah lagu sederhana…
            Lagu cintaku untuk mama…
            Walau tak dapat selalu ku ungkapkan, rasa cintaku tuk mama…
            Namun dengarlah hatiku berkata sungguh ku saying padamu mama…
            ohh hanya ini ku nyanyikan…
            Senandung dari hatiku untuk mama..
            Hanya sebuah lagu sederhana…
            Lagu cintaku untuk mama…”.
Aku menangis dalam pelukan mama.
            “Memilikimu adalah hadiah paling indah, Cinta..”. Mama mengucapkan kata yang sangat indah. Mungkin inilah kata terindah yang pernah aku dengar.

***

            Hari berganti, aku masih sedikit rapuh karena ayahku yang sakit. Aku duduk di samping mama,
            “Sedang apa, Ma?”. Tanyaku.
            “Cinta, tolong jaga Dinda !”. Mama terlihat aneh.
            “Ha? Maksud, Mama apa? Dinda gak paham!”. Aku kebingungan.
            “Mama, akan keluar kota untuk mencari pekerjaan. Sekarang papa sudah tidak bekerja, sedangkan biaya pengobatan papa tidak sedikit. Jadi, mau tidak mau Mama harus bekerja!”. Mama menatapku penuh harapan.
            “Cinta, percaya sama Mama.. apapun itu asal itu yang terbaik untuk kita, aku akan mendukung Mama !”. Aku berusaha terlihat kuat, meski sebenarnya aku tak rela mama pergi.

***

            9 bula sudah mama pergi. Tanpa kusadari yang ada hanya aku dan kenangan mama di sini. Cinta, kasih, senyum, hilang dalam sekejap mata. Papa, mama, orang yang memberiku semangat hidup untukku pergi menjauh karena takdir. Kini setiap hembusan nafasku terasa tak berarti. Aku rindu senyuman mama, aku rindu senandung lagu yang mama nyanyikan untukku, aku rindu papa. Meski kini hidupku lebih baik,karena mama bekerja. Tapi sedih mama tak ada di sini, mama tak tahu bahwa aku sudah sedikit lebih dewasa dan Dinda sudah dapat bejalan dan dapat berbicara meski tak begitu jelas.
            “Tuhan! Aku tak sanggup menghadapi segalanya sendirian, aku butuh mereka di sampingku, untuk memberiku semangat….!”. Ku menangis dalam sujud.
            “Allah… Engkau Maha Mendengar, Engkau Maha Melihat, Engkau Maha bijaksana ya.. Allah…!! Tolong Cinta, dekap Cinta dalam selimut kasih-Mu, saat aku menangis, saat kurapuh dalam kesendirian !”. Air mataku mulai menitik dari mata mungil ini.
            Tiba-tiba terdengar suara-suara yang tak asing bagiku, ia adalah Dinda. Kuhampiri ia,
            “Ada apa, sayang?”. Tanyaku sambil memamngku Dinda.
            “Kakak, bo..neta..tu  ja..tuh di ba..wah titu !”.(Kakak, bonekaku jatuh di bawah situ.) Kata Dinda yang belum bisa berbicara dengan baik.
            “Ini sayang !” Aku memberikan boneka yang jatuh.
            “Kak, Thi..nda pe..ngen kete..mu ma..ma! Ta..thi thin..tha tahu ni..na ti kati es chim ca..ma mama..na!”. (Kak Dinda pengen ketemu mama! Tadi Dinda tahu Nina di kasih ice cream sama mamanya.) Dinda berkata dengan polos.
            “Dinda sayang, mama Dinda masih kerja jauuuuhh… jadi pulangnya sedikit lebih lama !”. Kataku sambil menahan air mata agar tak terjatuh di hadapnya.

***

Pulang sekolah aku pergi ke toko baju untuk membantu Eka membeli baju untuk ulang tahunnya. Tapi sayang saat di luar toko kami baru menyadari bahwa barang kami tertukar oleh orang lain. Segera Kami masuk dan mencari orang yang membawa barang kami. Namun, yang terjadi aku melihat wanita yang tak asing bagiku, wanita cantik dengan rambut pendek yang lebat. Ia berjalan dengan anggun, bersama seorang laki-laki. Ia mirip sekali dengan….
            “Mama !”. Aku terkejut.
            “Mama…Mama…!”. Aku memanggilnya.
Ia menoleh dan berhenti, lalu memandangku sengan penuh kerinduan,
            “maaf, kamu siapa ya? Saya bukan Mamamu !”. Jawanya.
            “Jawabannya membuatku terkejut, padahal aku yakin ia mama, matanya tak dapat dibohongi. Ia pasti mama, tapi mengapa ia tak mengenaliku?” Pikirku daam hati.
            “Ma, kenapa dengan Mama? Apa Mama benar-benar lupa dengan Cinta?”. Tanyaku sambil menangis.
“Siapasih kamu mengaku bahwa kamu anak isteriku?”. Membentak sambil mendorongku.
Aku semakin bingung, karena perkataan laki-laki itu.
            “Tapi dia mamaku!”. Aku mengelak.
            “Ngawur kamu !”. Dia semakin marah.
            “Mama, kenapa mama diam aja? Apa Mama nggak kangen sama Cinta? Dinda udah besar,Ma… Dinda tumbuh jadi anak yang baik dan lucu. Mama…Mama…”. Aku menangis.
            “Pergi !! Dasar orang gila !”. Wainita itu mengusirku.
            “Mama jahat, hampir 1 tahun Cinta nunggu Mama, menjaga Dinda untuk Mama.. Cinta menjaga kepercayaan Mama karena dinda sayang Mama. Tapi sekarang Cinta kecewa, ternyata Senyum Mama hanya dusta saja ! Pergilah Ma, pergi… Cinta sakit, jika Mama memang tak perduli sama Cinta, Dinda, dan papa,lupakan kami selamanya!”. Aku pergi dengan memegang tangan Eka.

***

            Malam ini aku membawa Dinda ke rumah sakit untuk menjenguk papa, Dinda tertidur nyenyak wajah mungil itu menyejukkan suasana hatiku. Akupun tertidur di lantai samping kursi yang ditiduri Dinda. Saat aku baru memejamkan mata terasa tangan halus menyentuh rambutku. Hangat nafasnya, lembut tangannya, dan wangi tubuhnya, aku merasa mengenalinya. Suara itu terngiang kembali, mencium keningku dan menyanyikan lagu yang biasa mama, nyanyikan sebelum aku tidur..
            “hmmm….hhmmm…”
            “Bintang malam katatakan padanya. Aku ingin melukis sinarmu di hatinya…
            Embun pagi sampaikan padanya, kan kudekap saat dingin membelenggunya…
            Taukah engkau wahai langit, kuingin bertemu membelai wajahnya…
            Dan kupasang hiasan, angkasa yang terindah hanya untuk dirinya..
            Lagu rindu ini kuciptakan, hanya untuk bidadari hatiku tercinta..
            Walau hanya nada sederhana, ijinkan kuungkap segenap rasa dan kerinduan..”
Ia bernyanyi dengan suara yang merdu, air matanya menetes di pipiku. Sepertinya ia menyimpan kerinduan yang mendalam.
            “Siapa dia??” Tanyaku dalam hati.
            “Cinta, Dinda, Papa… maafkan Mama, Mama melakukan ini terpaksa.. Karena Mama tidak ingin kalian hidup menderita, aku terpaksa membohongi diriku sendiri dan meninggalkan kalian. Aku terlalu takut melihat kalian meneteskan air mata… Maka dari itu biarlah Mama yang berkorban hati untuk kalian…!! Maaf !”.
Dengan kata-kata itu aku menjadi tahu, kalu ia adalah mamaku, yang kutunggu selama ini,
            “Ma, !” Aku membuka mata dan memelukya.
            “Ma..ma..maaf anda salah orang.” Ia pergi.
            “Ma ! Aku lebih baik mati karena kelaparan dari pada kehilangan Mama.. Kehilangan mama lebih menyakitkan dari pada ditusuk sejuta pisau sekalipun!” Aku berteriak sambil mengejar Mama. Tapi mama terus berlai hingga keluar gerbang rumah sakit. Aku terus mengikutiya sampai dirumahnya.
            “Ma…!!”. Kataku sambil mengetuk pintu rumahnya. Tetap saja tiada jawaban, aku menunggu mama di halaman.
            “Ku akan menanti, meski nyawaku harus melayang. Walau badai menerpa ku takkan beranjak pergi dari sini, Cinta akan buktikan Cinta mampu jadi yang terbaik. Biarlah nafasku habis hanya untuk menantimu, hingga nanti kau percaya bahwa aku benar-benar sayang pada Mama. Cinta Akan disisni !”. Aku berteriak di depan rumah mama.

***

            Tiga hari aku menunggu mama disini namun mama tak terlihat sedikitpun. Aku galau, bagaimana tidak, aku berdiri di halam rumah mama. Padahal hujan lebat, sebenarnya aku takut tapi, cintaku kepada mama jauh lebih besar dari pada dingin yang kurasa. Seluruh badanku terasa gemetar, mungkin karena lapar dan dingin yang menusuk tulangku. Aku melangkah semampuku menuju jendela rumah mama yang penuh debu itu. Ku tulis satu kalimat untuk mama. Karena, aku merasa tak sanggup lagi bertahan setelah terkena hujan dari malam hingga pagi ini.
            “I LOVE YOU MOM…”. Itulah kata yang kutulis untuk mama.
Lalu saat seseorang membuka jendela usang itu, ia tampak kaget melihatku yang masih menanti mama disini. Entah siapa dia, mungkin pembantu mama atau keluarga mama. Ia tampak pergi dengan wajah bingung. Lalu tak lama kemudian mama keluar menghampiriku dengan wajah merah, seperti terkena tamparan,
            “Mama sakit?”. Kataku lirih karena sudah sangat lemas.
            “Tidak, Mama baik-baik saja!”. Mama tampak khawatir padaku.
            “Mama? Apa Mama mau jadi Mama Cinta seperti yang dulu? Yang memeluk Cinta saat Cinta menangis? Menjadi Mama yang mendekap Cinta penuh kasih sayang?”. Kata bahagia terlontar begitu saja.
            “Tentu sayang !” Mama tersenyum.
“Tuhan… terima kasih penantianku, perjuanganku, hembusan nafasku menjadi berarti meski hanya satu detik saja. Penyesalan, kesepian, kerinduan, dan sedihku melayang. Meski kini harus Kau ambil nyawaku aku rela, Ya Allah…!
Tiba-tiba aku merasa pusing, tubuhku dingin, dan akumerasa tak berdaya,
            “Mama, jaga Dinda, dan Papa! Mama, Cinta ingin mama berjanji jangan pernah meninggalkan Cinta, Dinda, dan Papa lagi !”. Pintaku pada mama.
            “Mama, janji sama Cinta !”. Mama menangis saat menatapku.
            “Ma, Cinta dingin…!”. Tetes air mata hangat mengalir di pipiku.
Mama memeluk tubuhku dengan erat, saat itu aku mengatakan sesuatu untuk mama,
            “I love you mom…!”. Kata lirih yang terucap itu adalah kata terahir dalam hidupku.
Aku tertidur dengan tersenyum bahagia. Jiwaku keluar raga rapuh ini, ku pandangi mama,
            “Cinta, tidurlah dengan nyenyak, mama akan memelukmu, mama akan menjagamu, memberikan Cinta kasih sayang yang selama ini Cinta minta.” Mama berbisik pada ragaku yang telah tak bernyawa.
            “Ma… meski aku tak ada lagi di dunia, tapi jiwaku akan selalu ada menemanimu. Meski jasadku tak dapat lagi kau rasa tapi hatiku akan ada menemanimu.. Selamat tinggal Mama… !!!”. Aku berkata pada mama, meski ku tahu mama tak tahu jika ku ada di sampingnya.

***

by : ikkekarunia@gmail.com            Ketika mama melihat pesan yang ku tulis di jendelanya, mama menangis tiada henti.
            “Maafkan Mama sayang, Putih cinta mama akan mama lukiskan di dasar hati mama. Ku kansetia menjaga janji mama. Kini bayang dirimu datang dalam setiap mimpi, namun tak akan pernah membawamu kembali kepadaku. Cinta di hatiku tak lekang oleh waktu, meski kau tak disamping mama..!”
            “I LOVE YOU TOO, DEAR  !”. ucapan terahir yang ku dengar saat itu.



I LOVE YOU MOM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar